Suku Toraja
Jumat, 01 November 2013
0
komentar
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 1 juta jiwa, dengan 500.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja, Kabupaten Toraja Utara, dan Kabupaten Mamasa. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa
Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas".
Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku
Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya.
Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya
dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja
tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh
oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan
menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun
1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia
. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog. Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.
A. IDENTITAS ETNIS
Suku Toraja memiliki sedikit
gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum
abad ke-20. Sebelumpenjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang
tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak
beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan
hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki
sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi.
"Toraja" (dari bahasa pesisir to, yang berarti orang, dan Riaja,
dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah
untuk penduduk dataran tinggi. Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih
banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis, suku
Makassar, dan suku Mandar yang menghuni sebagian besar dataran rendah di
Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris
Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah
Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di
Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis
utama—suku Bugis (meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang
dan pelaut), suku Mandar (pedagang, pembuat kapal dan pelaut), dan suku Toraja
(petani di dataran tinggi).
Dulu ada yang mengira bahwa Teluk
Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, adalah tempat asal suku
Toraja. Sebetulnya, orang Toraja hanya salah satu kelompok penuturbahasa
Austronesia. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi,
namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai
menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde
Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah
dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit
dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19,
Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan,
terutama di antara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang
menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun
1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan
pemerintah kolonial Belanda. Selain menyebarkan agama, Belanda juga
menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan
di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya
merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut. Pada
tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia
mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.
Misionaris Belanda yang baru
datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur
perdagangan yang menguntungkan Toraja. Beberapa orang Toraja telah dipindahkan
ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak
ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan
para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak
merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi
Kristen. Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi
Kristen.
Penduduk Muslim di dataran rendah
menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin
beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan
perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap
orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965
setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat
pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan
sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15
tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama
Kristen.
Pada tahun 1965, sebuah dekret
presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari
lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu danBuddha.
Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja
berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia
harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969,
Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
C. MASYARAKAT
-
KELUARGA
Keluarga adalah kelompok sosial
dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar.
Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut
memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan
seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan. Suku
Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga)
kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta. Hubungan kekerabatan
berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling
menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan
utang.
Setiap orang menjadi anggota dari
keluarga ibu dan ayahnya. Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu
dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas
dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah
meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu,
ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi
oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan
pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja
tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desa biasanya membentuk
kelompok; kadang-kadang, beberapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain.
Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi
rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan
babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik
dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam
hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan
menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk,
piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang
diperbolehkan untuk masing-masing orang.
-
KELAS SOSIAL
Dalam masyarakat Toraja awal,
hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas
sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun
1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu.
Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah
tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tinggi. Ini
bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap
merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga
saat ini karena alasan martabat keluarga.
Kaum bangsawan, yang dipercaya
sebagai keturunan dari surga, tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata
tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak
tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka.
Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya
melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat
biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada
kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat
memengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah
kekayaan. Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja
merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak
karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa
dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli
kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak
tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama
dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman
bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.
-
AGAMA
Sistem kepercayaan tradisional
suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau
"jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos
Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang
kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang
Matua, dewa pencipta. Alam semesta, menurutaluk, dibagi menjadi dunia atas
(Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah. Pada awalnya, surga dan bumi
menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan
tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi
panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia,
dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa
Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon
(dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian),Indo' Belo Tumbang (dewi
pengobatan), dan lainnya.
Kekuasaan di bumi yang kata-kata
dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam
upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya
sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan
kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan
ritual keagamaan. Tata caraAluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa
lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan
kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan
menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.
Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda,
orangKristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual
kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian. Akibatnya, ritual
kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah
mulai jarang dilaksanakan.
D. KEBUDAYAAN
-
TONGKONAN
Tongkonan adalah rumah tradisional
Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna
merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja
tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat
kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan
sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua
anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka
dengan leluhur mereka. Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun
di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia
meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.
Pembangunan tongkonan adalah
pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar.
Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi,
yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan
adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan
tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu.
Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya
rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di
Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan
yang besar.
-
UKIRAN KAYU
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan
tidak memiliki sistem tulisan. Untuk menunjukkan konsep keagamaan dan sosial,
suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau
"tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya
Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama
khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan,
contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong
yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu
Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau
atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau.
Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan
keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang
tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas
melambangkanhewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja
keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan
adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban
merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah),
selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan
sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan
geometri yang teratur. Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan
tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran
ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri. Suku Toraja menggunakan bambu
untuk membuat oranamen geometris.
-
UPACARA PEMAKAMAN
Dalam masyarakat Toraja, upacara
pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya
dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal.
Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta
pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh
ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi
pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang
luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung
padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang
ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan
merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu
tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.
Upacara pemakaman ini
kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan
bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga
yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.
Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan
tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya(dunia arwah,
atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa
helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap
tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan
perjalanan ke Puya.
Bagian lain dari pemakaman adalah
penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau
yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai
kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang
sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah
membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di
Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi
merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda
yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging
tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap
sebagai utang pada keluarga almarhum.
Ada tiga cara pemakaman: Peti
mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di
tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut
biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa
daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga.
Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke
luar. Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali
tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya
terjatuh.
-
MUSIK DAN TARIAN
Suku Toraja melakukan tarian
dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk
menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah
almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat.
Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu
sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut
Ma'badong). Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara
pemakaman. Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan
untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan
tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan
berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah
dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama
upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan
mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan
hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan
kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil
melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Seperti di masyarakat agraris
lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi
dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi
ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras. Ada beberapa tarian
perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti
oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana
suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12
tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama
mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja
adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan
pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan
bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari
panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang
dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara
pembukaan rumah.
-
BAHASA
Bahasa Toraja adalah bahasa yang
dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama.
Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh
masyarakat, akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di
Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara
lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan
termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia. Pada
mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek
dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana
Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui
proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah
penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.
Denominasi
|
ISO 639-3
|
Populasi (pada tahun )
|
Dialek
|
Kalumpang
|
12,000 (1991)
|
Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau
(Ta'da).
|
|
Mamasa
|
mqj
|
100,000 (1991)
|
Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa
Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
|
Ta'e
|
rob
|
250,000 (1992)
|
Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
|
Talondo'
|
tln
|
500 (1986)
|
|
Toala'
|
tlz
|
30,000 (1983)
|
Toala', Palili'.
|
Torajan-Sa'dan
|
sda
|
500,000
(1990)
|
Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'),
Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
|
Ciri yang menonjol dalam bahasa
Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian
di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita
dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit. Bahasa Toraja
mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan
tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara
jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut
kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu
sendiri.
-
EKONOMI
Sebelum masa Orde Baru, ekonomi
Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng
gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu
dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan
terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan. Satu-satunya industri
pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada
tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi
asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasionalmembuka usaha
baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang
berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk
kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan
Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.
Ekonomi Toraja secara bertahap
beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997,
masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi
pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan
ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di
Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis. Toraja
lalu dkenal sebagai tempat asal dari kopi Indonesia. Kopi Arabika ini terutama
dijalankan oleh pengusaha kecil.
TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN SAUDARA
Judul: Suku Toraja
Ditulis oleh Wahyu Setiawan
Rating Blog 5 dari 5
Semoga artikel ini bermanfaat bagi saudara. Jika ingin mengutip, baik itu sebagian atau keseluruhan dari isi artikel ini harap menyertakan link dofollow ke https://rantaipengetahuan.blogspot.com/2013/11/suku-toraja.html. Terima kasih sudah singgah membaca artikel ini.Ditulis oleh Wahyu Setiawan
Rating Blog 5 dari 5
0 komentar:
Posting Komentar